Himsena Unhas adakan Pengkaderan Karakter
Himsena Unhas, Makassar- Himsena Unhas adalah organisasi kader. Proses kaderisasi merupakan bagian kegiatan yang tak terpisahkan dari eksistensi himsena kedepannya. Oleh karena itu, Himsena Unhas melaksanakan proses kaderisasi untuk mahasiswa angkatan 2011 dengan tajuk tema "KARAKTER 2014: Kesinambungan Gerak Intelektual dalam Mewujudkan Tri Darma Perguruan Tinggi".
Pengkaderan dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu, 19-20 April 2014 dengan mengambil tempat di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Bantimurung, Maros. Proses pengkaderan dilaksanakan selama 2 hari dengan jumlah peserta yang ikut sebanyak 26 orang mahasiswa.
Peserta KARAKTER 2014 |
Dalam sambutannya, Ir. Muhammad Aminawar, MM selaku Wakil Dekan III bidang kemahasiswaan mengatakan bahwa ke depannya diharapkan himpunan (red: Himsena Unhas) mampu untuk mewadahi mahasiswa untuk mengembanhkan soft skill yang dimiliki, menjadi tempat berkumpul untuk mengkaji ilmu-ilmu yang terkait bidang peternakan, tempat sharing ilmu antara junior dan senior, dan mampu berpartisipasi dalam mewadahi segala bentuk kegiatan kemahsiswaan yang ada di tingkat universitas. Aminawar sendiri dalam acara pelepasan dan membuka secara resmi acara pengkaderan KARAKTER 2014 pada hari Sabtu, 19 April bertempat di lapangan olahraga (takraw) Himsena Unhas.
Materi Mahasiswa Entrepreneur |
Varian materi yang disampaikan dalam proses pengkaderan ini diantaranya adalah Pertanian Peternakan sebagai Akar Budaya, Mahasiswa Entrepreneur, Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Usaha Peternakan, Kehimsenaan, dan Konstitusi. Mataeri-materi pengkaderan dibawakan langsung oleh dosen-dosen dari jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, alumni, dan pengurus/DPO yang membahas tentang kehimsenaan dan konstitusi.
Materi yang dibawakan Alumni |
"Kalian adalah penyelamat untuk Himsena Unhas", harap Syahrul Bahrul saat memberikan sambutan dalam acara penutupan. Himsena Unhas tanpa terkecuali lembaga mahasiswa setingkat jurusan yang ada di fakultas peternakan merupakan salah lembaga yang menerima imbas atas kebijakan peleburan jurusan menjadi satu prodi saja yakni prodi ilmu peternakan. Sehingga beberapa waktu lamanya, proses kaderisasi yang ada di Himsena Unhas otomatis berhenti selama kurang lebih 2 tahun. Inilah harapan dari ketua Himsena Unhas, bahwa ke depannya himsena akan tetap eksis dengan hadirnya teman-teman mahasiswa angkatan 2011.
[Indra, 2010].
[Indra, 2010].
Kisah “PAK SOFYAN” Berjuang Melawan Sakit Lembah Biru Desa Malino oleh RAHMAT IHSANMAPPANGARA
Kisah “PAK SOFYAN” Berjuang Melawan Sakit
Lembah Biru Desa Malino
14-Juni-2013
Diselah-selah berjalannya Materi Training I**B* PD-MAKASSAR malam
itu, saya memilih untuk nonkrong di warkop bambu yang mungkin ukuran warkop itu
sekitar 3x2 kaki bukit lembah biru desa malino. Berharap mendapatkan sesuatu
yang lain dari desa ini selain merasakan dinginnya suhu yang harus membuatku
memakai jaket tiga lapis malam itu. Langkah demi langkah mencoba menerangi
jalan setapak desa bersama HP komuniketer ku menghampiri warkop yang dituju.
Setibanya di warkop itu, seperti biasa terlebih dahulu memilih
berbincang-bincang bersama pemilik warkop sebelum memesan kopi hitam setengah
sendok gula andalanku.., ditengah perbincangan, tepat di belakang kami seorang
ayah separuh baya dan seorang anak gadis kecilnya memungut-mungut kayu kering
dan membakarnya. Sambil memotong perbincangan kami, saya sempatkan bertanya
kepada pemilik warkop..”dua orang itu
siapa bu..?”ibu itu menjawab “itu
suami dan anak saya”terus ibu itu nanya balik “kenapa..?”Saya nanya balik “maaf
bu’ suami ibu sakit apa, kenapa pipi-nya membengkak..?”ibu itu menjawab
dengan santainya dan sedikit senyuman “oh..suami
saya sudah 2 tahun ini terkena penyakit kanker ganas, tahun lalu sempat dibawah
berobat di salah satu rumah sakit kota makassar tapi keluarga terkendala di
dana, makanya keluarga memilih berobat kampung saja tapi sampai sekarang tidak
ada perubahan”.
Mungkin saya terlalu cepat
menyimpulkan hasil pembicaraan kami yang begitu singkat dan saya bisa
menangkap, mengapa ibu itu menjawab pertanyaan saya dengan santainya dan
sedikit senyuman“mungkin ditengah
keterbatasan dan keputusasaan keluarga untuk biaya berobat ibu itu merespon
pertanyaanku dengan santainya, karena sempat ibu itu menyinggung bahwa sampai
hari ini tidak ada satupun pemerintah daerah memberi bantuan untuk meringankan
biaya perobatan suaminya”
Nama suami ibu itu “Pak Sofyan” bekerja sebagai penjaga
pekarangan lokasi penginapan Lembah Biru Desa Malino, tepat posisi rumah dan
warkop bambu ukuran 3x2 itu berada di sebelah kanan sudut jalan 100 meter
sebelum tiba ke lokasi penginapan Lembah Biru Desa Malino.
Sumber: RAHMAT IHSANMAPPANGARA
DESA-ku yang MERINDUKAN KEADILAN PEMBANGUNAN oleh RAHMAT IHSAN MAPPANGARA
DESA-ku
yang MERINDUKAN KEADILAN PEMBANGUNAN
Mungkin banyak diantara kita masyarakat
mamuju yang tidak mengetahui bahwa sese adalah daerah pedesaan yang memiliki
keindahan fanorama alam untuk dikunjungi. Letaknya hanya sekitar 15 km dari
kota Kabupaten mamuju menuju arah kantor gubernur propinsi Sulawesi barat. Kebanyakan
penduduk di sini bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang di pasar
kabupaten mamuju. Sese adalah sebuah wilayah yang menurut saya luar biasa
bahkan mungkin tidak semua daerah lain memiliki potensi seperti ini. Tanahnya
subur, udara sejuk, Air melimpah, dikelilingi oleh pegunungan yang berbentuk
lembah.
Tetapi
untuk sampai pada jantung kota desa sese kita perlu kesiapan mental yang kuat, disebabkan jalan poros menuju desa ini sangat ekstrim, jalan yang begitu
menanjak dan penurunan jalan yang begitu terjal, jalan bebatuan dan berlobang
sepanjang 5 km, diperparah lagi apabila hujan turun masyarakat memilih untuk
tidak keluar desanya karena jalan yang begitu becek dan sering kali memakan
Desa sese
memiliki satu akses jalan yang menghubungkan beberapa desa yaitu desa
alla-alla, desa salunangka dan desa simbuang dua yang dimana mayoritas
masyarakatnya adalah petani yang tiap harinya membawa hasil pertaniannya ke
pasar kota kabupaten mamuju Sulawesi barat. Ada yang menarik dari desa ini
ketika saya menyempatkan waktu berdiskusi dengan beberapa masyarakat desa
mengenai pembangunan jalan untuk desa ini, beberapa masyarakat spontan tertawa
dan berkata bahwa jalan di desa ini sudah hampir 10 tahun tidak terjamah oleh
pemerintah setempat, jangankan terjamah untuk berkunjung ke desa ini saja bisa
di katakan hanya beberapa tahun sekali tetapi yang menarik pada saat momentum
pemilihan kepala daearah dan pemilihan para calon anggota legislatif, desa ini
menjadi sasaran empuk bagi para calon untuk mempromosikan diri dan beberapa
janji program kerja yang di tawarkan kepada masyarakat, khususnya pembangunan
jalan ketika nantinya terpilih. Tiba-tiba ditengah perbincangan kami salah
seorang masyarakat berkata, ya’ wajar buat kami masyarakat pedesaan yang masih memiliki keterbelakangan
pendidikan masih sangat gampang untuk di bodoh-bodohi, apa lagi menyinggung
mengenai program pembangunan jalan masuk ke desa karena buat kami perbaikan
jalan menjadi hal utama kebutuhan masyarakat desa, disebabkan jalan menjadi
satu-satunya akses penghubung antara desa ke kota.
Seorang Ibu melintasi
jalan ini sambil membawa pakan untuk
ternaknya
Tidak hanya sampai disitu, malam
harinya saya menyempatkan diri bertemu dengan pak Jasman selaku kepala desa
sese utara mengenai keluhan masyarakat desanya. Pak Jasman mengatakan bahwa
mengenai perbaikan jalan untuk desanya sudah menjadi topik utama tiap kali
pembahasan dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Pedesaan, tetapi
sampai saat ini tidak ada realisasi dari pemerintah setempat mengenai hasil
dari musyawarah partisipatif tersebut. Keluhan yang lain dari pak desa ketika
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, dimana sebelum harga BBM naik, biaya ojek
untuk anak sekolah menuju kota sebesar Rp.10.000,-
jadi untuk pulang pergi saja anak sekolah yang rata-rata orang tuanya hanyalah
petani, harus menyisihkan Rp.20.000,-
untuk biaya transportasi. Sekarang pada
saat harga BBM sudah naik, biaya ojek juga ikut naik menjadi Rp.15.000,- itu hanya untuk biaya menuju
ke sekolah. Jadi menurut pak desa wajar-wajar saja jika masyarakat desaku
berlomba-lomba untuk menjual tanah pertaniannya karena hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Salah satu rumah masyarakat
desa sese yang ramah lingkungan
Sampai pada saat ini dengan melihat
permasalahan masyarakat desa yang tak kunjung usai atau bisa dikatakan bahwa
pemerintah masih setengah hati dalam pemerataan pembangunan. Saya mulai
memikirkan bagaimana mematikan kota lewat desa dengan tidak membawa hasil
sumber daya pertanian ke kota dengan tujuan merubah kebijakan pemerintah dalam
pemerataan pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur pedesaan. Karena
pada hakekatnya, dari desa lah kita masih dapat bertahan hidup sampai hari ini.
Mungkin kita jarang
berfikir bahkan tidak pernah berfikir, betapa besar jasa para petani kita dalam
menyediakan kebutuhan pokok hidup kita. Bahkan di Jepang negeri Sakura yang
telah maju perkembangan teknologinyapun, anak-anak sejak dini dididik untuk
menghargai petani. Anak-anak sekolah taman kanak-kanak setiap akan makan diajarkan
supaya memulai dengan mengucapkan ”terimakasihku pada petani yang telah
menyediakan makanan ini”. Ini mendidik untuk menghargai jerih payahnya petani
dalam menghasilkan sesuap nasi yang perlu perjuangan dengan tetesan keringat
dalam waktu yang panjang. Saat ini baru penghargaan terhadap guru telah terus
ditanamkan pada setiap anak didik baik dengan nyanyian ataupun ungkapan sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa. Namun penghargaan kepada para petani kita dalam
menghasilkan bahan makanan kita nyaris tak ada sama sekali, bahkan penghargaan
finansial terhadap petani atau nilai tukar petani rendah dan itupun masih
diombangambingkan dengan harga. Petani dalam perjuangan hidupnya tanpa pamrih
apapun, dengan tetesan keringatnya hanya semata untuk memenuhi penyediaan pangan
sesamanya. Nampaknya perlu menumbuhkan kesadaran bahwa dari petanilah kita
makan, dengan jerih payah merekalah kita dapat menikmati hidup ini. Kita perlu
menghargai perjuangan atau jerih payahnya. Kalau guru sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa, maka petani selama ini sebagai pahlawan yang terabaikan. Yang seharusnya petani sebagai pahlawan kehidupan.
Tidak berarti ingin mengagungkan, namun hanya sekedar menempatkan petani pada
porsi yang sebenarnya, (Suntoro
Wongso Atmojo).
Dokumentasi ini diambil 1 hari sebelum
perayaan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2013